#sebuah renungan
Sapu, hanya empat huruf dan tidak semua orang menyadari bahwa keberadaannya sangat esesial.
Dari mana asal muasal sapu itu? Dari sumber yang dapat dipercaya bahwa sapu modern sudah ada sejak tahun 1797. Dibuat oleh Levi Dickinson dari rumput berumbai atau Sorghum vulgare yang diikat pada tongkat, sebagai hadiah untuk istrinya yang membantu membersihkan rumah mereka. Kemudian dickinson menjual sapu buatannya. Itulah sekelumit tentang asal sapu.
Hingga kini sapu menjadi penting baik secara sosiologis, ekonomis, maupun ekologis. Berbagai macam sapi dan sejenisnya terbuat dari lidi, jerami, akar-akaran kayu yg berserat, plastik, bahkan dari kawat. Sapu dari yang sederhana hingga bermetamorfosa dalam berbagai wujud. Misalnya menjadi sikat. Sangat banyak fungsi dan ketermanfaatan sapu antara lain sebagai alat pembersih rumah, halaman, pekarangan, dll.
Bila disimak misalnya sapu lidi. Jika sudah berwujud sapu sepertinya hanya sejenis barang sederhana dan tak bernilai. Namun sesungguhnya benda itu dibuat dengan proses kreatifitas yang kompleks. Semisal yang terbuat dari lidi dan ijuk. Lidinya dari tulang daun kelapa, enau, sagu, dan aren. Mulai dari proses pemisahan hingga diikat menjadi sapu, membutuhkan kesabaran dan keterampilan khusus. Berbagai bentuk ikatan sapu dikreasikan, sesungguhnya itu bertujuan agar lidinya tidak bercerai-berai atau dengan kata lain agar tetap utuh dan mudah digunakan.
Sesimpel sapu. Kendati demikian banyak sekali ikhtibar yg dapat dipelajari dari barang berupa sapu itu. Bayangkan jika hanya seutas lidi maka akan muda patah dan tak dapat mendorong sampah. Dengan terkumpul menjadi sapu, semuanya terselesaikan mulai dari kotoran, sampah, dan limbah dapat terurus dengan baik dan teratur. Jika kita belajar dari sapu, maka jika junjung tinggi rasa “persatuan dan kesatuan”, in sha Allah pekerjaan yang berat menjadi ringan. Kedua, sapu dapat menjadi sumber industri rumah tangga dan akhirnya dapat bernilai ekonomi. Lebih jauh dari itu, dimensi sapu menjadi inspirasi untuk kita menyadari bahwa tinggi dan lebar sapu harus ideal agar sapu mempunyai mobilitas yang nyaman. Sapu itu adalah senjata serbaguna. Bayangkan jika rumah tidak punya sapu, maka akan berantakan. Ironisnya, benda yg begitu bermanfaat, di dalam rumah kita posisinya tidak terhormat. Yang punya rumah merasa tidak nyaman jika sapunya kelihatan, oleh karenanya, diletaknya di pojok atau di bagian belakang dari rumah. Jika belum dipakai disembunyikan.
Para pembaca yang budiman, marilah kita resapi keberadaan dan fungsi sapu dan mulai kita posisikan dan perlakukan sapu sebagaimana mestinya. Sekecil apapun fungsi benda dan orang pasti punya manfaat yang berharga dan strategis. Mari kita perlakukan semua pekerja dan sesama dengan setara, baik, dan bermartabat. Demikian sekedar renungan di akhir pekan. Hargailah walau hanya Sapu! Selamat berlibur semoga bermanfaat, aamiin!
———-
Suhubdi: RP-Gunsa, 26 Mei 2024
Elyusra
Tulisan yang menambah wawasan tentang sapu yang setiap hari saya gunakan. Terima kasih Bu Nurhaita.
admin
Bu El… ini tulisan ringan dari Prof Suhubdy yang pagi kemaren dia kirim, saya minta izin beliau untuk jadi bahan postingan perdana di web saya, hehe…
NurAini
Kerren, terimakasih artikelnya Bu Nurhaita.
Semangat semangat semangat. Kita sama-sama punya nama depan Nur ya Bu, salam kenal saya Nur Aini dari Bangkalan Madura
admin
Assalam’alaikum bunda Nur Aini, salam kenal kembali. Senang akhirnya bisa berkomunikasi dengan bunda Nur. Saya sudah sering mendengar nama bunda di WA Group Iro Society, tapi karena saya ini Silent member jadi gak pernah komen.
Semangaaat ya Bunda Nur…
Izzuki Miftah
sangat inspiratif, Prof. Suhubdy memang sangat piawai merangkai kata dan nyaman untuk dibaca.
Terima kasih Bunda Nurhaita, telah berbagi tulisan
admin
benar sekali bu dokter, ternyata tentang sapu pun menjadi tulisan yang enak dibaca bila ditulis oleh orang yang piawai.
Terimkasih komen nya bu dokter cantiiiik….